Sabtu, 26 Februari 2011

JENIS BAHASA YANG DIGUNAKAN MASYARAKAT BELU

Masyarakat Kabupaten Belu menggunakan empat macam bahasa ibu. Adapun empat macam bahasa ibu tersebut adalah bahasa Tetun, bahasa Dawan, Bahasa Bunaq dan Bahasa Kemak.

1.Bahasa Tetun
Bahasa Tetun merupakan bahasa ibu yang digunakan secara mayoritas oleh masyarakat Kabupaten Belu. Hal ini dilihat dari jumlah penuturnya dimana hampir seluruh lapisan masyarakat di Kabupaten Belu dapat menuturkannya kecuali para pendatang. Meski demikian para pendatang mudah menyesuaikan diri karena bahasa Tetun mudah dipelajari. Bahasa Tetun dilihat dari aspek dialeknya maka terdapat dua jenis yaitu Tetun Fehan yang sering disebut juga Tetun Terik atau Tetun Fehan dan yang kedua adalah Tetun Foho. Tetun jenis pertama digunakan di beberapa kecamatan di Kabupaten Belu secara permanen yaitu Kecamatan Malaka Barat, Kecamatan Weliman, Kecamatan Wewiku, Kecamatan Rinhat, Kecamatan Malaka Tengah dan sebagian Kecamatan Kobalima serta Kobalima Timur. Sedangkan Tetun jenis kedua digunakan di sebagian Kecamatan Kobalima dan Kobalima Timur, sebagian Kecamatan Malaka Timur, Kota Atambua, Atambua Barat, Atambua Selatan, Kakuluk Mesak dan sebagian Kecamatan Tasifeto Timur dan Lasiolat.

Tetun Foho. Beberapa Kecamatan yang secara terbatas menggunakan Tetun Foho yaitu sebagian Kecamatan Kobalima dan Kobalima Timur, sebagian Kecamatan Malaka Timur, Sasitamean, Io Kufeu, Botin Leobele dan Laen Manen,Tesifeto Barat, Naet Dubesi, Kota Atambua, Atambua Selatan dan Atambua Barat, Kakuluk Mesak Tasifeto Timur dan Lasiolat.

Selain itu bila dilihat dari aspek pelafalan maka bahasa Tetun dibedakan atas dua macam yaitu Tetun D dan Tetun R. Perbedaan keduanya terletak pada pelafalan setiap kata atau suku kata Tetun yang diawali dengan fonem D. Untuk penutur Tetun D akan melafalkan setiap kata atau suku kata yang berfonem awal D seperti apa adanya, sedangkan para penutur yang tergolong Tetun R maka setiap kata atau suku kata yang berfonem awal D dilafalkan R. Misalnya kata "DAKA" yang artinya "JAGA atau MENJAGA" dilafalkan sebagai "RAKA", contoh lainnya kata "LIDUN" yang artinya "SUDUT" dilafalkan "LIRUN" tanpa merubah artinya.

2. Bahasa Dawan
Bahasa Dawan digunakan di beberapa Kecamatan yaitu Kecamatan Sasitamen, Io Kufeu, Botin Leobele, Laen Menen dan Malaka Timur. Meski beberapa kecamatan ini menggunakan bahasa Dawan namun masih dapat menuturkan bahasa Tetun Fehan. Hal ini karena secara geografis letak beberapa kecamatan tersebut masih berbatasan langsung dengan beberapa kecamatan yang masyarakatnya menggunakan bahasa Tetun Fehan. Bahasa Dawan yang digunakan adalah Dawan "R" seperti yang digunakan di Amarasi.

3. Bahasa Bunaq
Bahasa Bunaq atau sering disebut juga bahasa Marae digunakan secara permanen di kecamatan Lamaknen dan Lamaknen Selatan, sebagian kecamatan Kobalima dan Kobalima Timur, sebagian Kecamatan Tasifeto Timur dan Lasiolat.

4. Bahasa Kemak
Jenis bahasa yang satu ini jumlah penuturnya sangat sedikit dibanding penutur bahasa lainnya. Adapun punuturnya tersebar di sebagian kecamatan Kakuluk Mesak dan Tasifeto Timur. Hal ini diduga berkaitan dengan kedatangan suku ini dari Timor-Timur ke Belu paling terakhir. Suku yang paling terakhir ini tidak bisa menguasai dan berkembang lebih banyak karena sebagian besar wilayah telah didiami oleh masyarakat Tetun, Bunak dan Dawan terlebih dahulu.

BAHASA TETUN/LIA TETUN

Bahasa Tetun atau Lia Tetun merupakan salah satu aset budaya bangsa yang ada di Belu, yang kian hari terasa semakin didesak oleh bahasa lain yang datang dari luar. Tentu hal ini tidak terlalu terasa, namun tendensitas harian menunjukan bahwa lambat laun bahasa Tetun akan semakin tergeser bahkan ada kecenderungan yang pasti untuk hilang karena setiap generasi muda sekarang hampir dipastikan tidak lagi menggunakan bahasa Tetun dalam berkomunikasi. Dengan demikian tidak mustahil suatu ketika bahasa Tetun hanya tinggal nama atau paling tidak, tidak lagi menunjukan kemurnian. Suatu misal, penutur bahasa Tetun di Timor Timur dan bahkan bahasa Tetun itu sendiri telah terkontaminasi dengan bahasa Portugis sehingga saat ini Tetun asli di Timor Timur hilang sama sekali dan muncul suatu kondisi transisional dimana kita mengenal Tetun Portu, yang tentunya tidak menunjukan keaslian Tetun, maupun bahasa Portugis.
Berkaitan dengan ini, sebenarnya ada enam hal yang mendorong penulis untuk menyusun kamus ini, dan keenam hal tersebut adalah pertama, bahasa Tetun hampir tidak digunakan dalam komunikasi harian oleh para generasi muda sekarang. Kondisi ini akan menyebabkan bahasa Tetun bisa punah pada suatu ketika dimana orang tidak lagi menggunakan sebagai bahasa pengantar, baik di rumah tangga, masyarakat, lembaga-lembaga pemerintah dan swasta. Kedua, orang malu menggunakan bahasa Tetun pada berbagai kesempatan. Umumnya para penutur bahasa daerah khususnya para penutur bahasa Tetun malu berbahasa Tetun di depan lawan bicara pada berbagai kesempatan karena takut dianggap kolot, kampungan dan bahkan tidak nasionalis. Dengan demikian bahasa Tetun jarang dan bahkan hampir tidak digunakan oleh penuturnya sekalipun dengan sesama penuturnya sendiri sehingga memungkinkan suatu saat bisa punah. Ketiga, orang lebih cendrung menggunakan bahasa lain (asing) karena menganggap bahasa Tetun telah ketinggalan jaman. Hal ini akan menyebabkan orang lebih terbiasa dan lebih fasih menggunakan bahasa lain daripada bahasa ibu sendiri. Penyebab timbulnya perasaan seperti ini adalah anggapan bahwa menggunakan bahasa lain (bahasa Indonesia, Inggris, Jawa atau lainnya) akan kelihatan lebih bergengsi dan bergaya lebih moderen. Selain itu orang ingin menciptakan image bagi lawan bicara bahwa dengan menggunakan bahasa lain terlihat lebih pintar dan berwawasan luas. Keempat, bahasa Tetun tidak diwajibkan sebagai ajaran muatan lokal (MULOK) di sekolah-sekolah, padahal di daerah lain seperti Bali dan Jawa, bahasa daerah diajarkan sebagai mata ajaran wajib. Hal ini tentu bermaksud untuk mempertahankan bahasa daerah yang bersangkutan sebagai salah satu kekayaan budaya bangsa. Perlu diketahui bahwa setiap bahasa daerah adalah juga merupakan unsur pembentuk bahasa Indonesia. Kelima, tidak ada aturan khusus yang mengharuskan orang (pemakai bahasa) untuk menggunakan bahasa Tetun pada acara-acara tertentu. Dengan demikian bahasa Tetun sering hampir dilupakan dalam komunikasi harian oleh para pemakainya. Keenam, derasnya arus globalisasi, diantaranya transformasi dan adopsi budaya asing yang berlebihan oleh masyarakat penutur. Hal ini menyebabkan masyarakat akan cepat menyerap budaya asing (menggunakan bahasa lain) dan menganaktirikan budaya sendiri termasuk bahasa Tetun. Sehingga dengan demikian bukan tidak mungkin suatu saat bahasa Tetun bisa punah.
Untuk mengantisipasi kemungkinan hilang atau jarang dipakainya bahasa Tetun oleh para penuturnya yang telah berada diabad modern dengan berbagai bahasa berikut dialeknya masing-masing, maka kami memberanikan diri untuk mengumpulkan dan menyusun kata-kata bahasa TETUN menjadi sebuah kamus yang kiranya menjadi dokumen atau dapat menjadi bahan referensi bagi siapa saja yang ingin mempelajarinya.
Selain hal penting diatas, dapat dijelaskan disini bahwa bahasa Tetun merupakan bahasa yang digunakan oleh mayoritas penduduk pulau Timor sejak dulu. Di kabupaten Belu misalnya, terdapat empat macam bahasa daerah yakni bahasa Tetun, bahasa Bunaq, bahasa Kemak dan bahasa Dawan. Namun dalam kehidupan sehari-hari, ternyata hampir seluruh penduduk di daerah ini dapat menggunakan bahasa Tetun kecuali para pendatang. Untuk alasan ini pulalah, penulis merasa berkekuatan untuk menyusun dan membukukan kata-kata bahasa Tetun menjadi sebuah kamus.
Bila diamati secara mendalam, ternyata bahasa Tetun dapat diklasifikasikan atas tiga tingkatan yaitu bahasa yang digunakan untuk berpantun (Rai Lian), bahasa untuk berkomunikasi dengan para raja atau para pejabat dan yang terakhir adalah bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi dengan orang - orang sebaya. Dalam kamus ini, hampir seluruhnya memakai kata-kata untuk percakapan sehari-hari atau tingkatan ketiga.
Penulis menyadari bahwa dalam menyusun kamus ini tidak sedikit pihak yang berperan mendorong dan bahkan membantu dengan caranya sendiri untuk menyelesaikan kamus ini. Untuk itu dengan hati yang tulus, saya haturkan terima kasih yang tak terhingga kepada :
1.Rm. Edmundus Nahak, Pr yang telah membantu saya memberikan beberapa pustaka untuk menyelesaikan penulisan kamus ini.
2.Rm. Alex Seran, Pr (alm) yang telah memberikan masukan dan bahkan mengoreksi beberapa hal penting yang kiranya telah menopang kebenaran terjemahan kedalam bahasa Indonesia mendekati sinonim yang tepat.
3.Bapak Agustinus Seran yang tidak henti - hentinya memberi masukan dari kelebihannya untuk melengkapi kamus ini.
4.Teman Drs. Ec. Edmundus Nahak, Ak atas kepeduliannya yang besar terhadap pelestarian budaya bangsa hingga bersedia mencari jalan untuk penerbitan kamus ini.
6.Kepada semua pihak yang telah dengan caranya sendiri membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan kamus ini.
Akhirnya penulis menyadari bahwa belum seluruh kata-kata Tetun tertuang dalam kamus ini sehingga sumbangan pikiran dari pihak manapun datangnya tentu sebagai referensi penting. Begitu pula terjemahannya kadang begitu terasa kaku akibat terbatasnya kemampuan penulis untuk menemukan sinonim yang tepat buat digunakan sebagai arti yang sesungguhnya.